Berikut adalah kumpulan cerita yang ditulis Faskel KMW XVI, Haris Yuniarsyah, yang bertugas di Srengat, Blitar, Jawa Timur. Masih tentang kepedulian akan rona kemiskinan di wilayah dampingannya.
Pak Basri. Guratan keriput tegas menghiasi pipimu. Penglihatanmu pun mulai berkurang. Namun, engkau senantiasa setia menuntun sepeda birumu yang terisi tumpukan rumput dan ilalang itu. Tak peduli terik matahari, telapak kakimu telah kebal terhadap panasnya aspal jalanan.
Kelelahan membaluri wajah Pak Basri. Hingga detik ini engkau masih terus bekerja. Ratusan kilometer telah kau lalui saat kau tuntun sepedamu. Untuk pria sebayamu, itu sangat jauh. Jauh sekali, Pak Basri. Lalu, kenapa kau lakukan itu? Apakah karena kemiskinan membelenggumu?
Pak Basri. Istirahatlah, Pak. Biarkan rakyat dan negara nan kaya ini mengurusimu. Kini giliranmu beristirahat. Menikmati sisa hidup dengan ketentraman dan ketenangan. Jangan biarkan tubuh tuamu terus menerus dalam kelelahan. Istirahatlah, Pak Basri.
Setiap pagi, Bapak punya hak menikmati secangkir kopi panas. Siang, Bapak punya hak untuk tidur siang seraya mendengarkan gending Jawa yang Bapak suka. Malamnya, Bapak juga punya hak berbagi cerita dengan cucu-cucu bapak. Mendongengkan cerita kepahlawanan, sampai mereka tertidur lelap. Lalu, di penghujung malam, ketika semua orang tertidur lelap, Bapak bisa lebih khusyuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Memohon ampun kepada Allah dalam Tahajud yang Bapak tunaikan.
Istirahatlah, Pak Basri. Jangan biarkan lagi mata orang yang memandangmu meneteskan air keharuan.
Camat itu Bukan Jabatan, Mas!
Siang itu di sebuah rumah di Dusun Kendaldoyong, Desa Togogan, aku berbincang dengan seorang relawan. Dia bercerita, kebanyakan para pemuda di desanya segan ketika harus menghadap Pak Lurah atau pun Pak Camat. Karena, pemuda di sana, menganggap jabatan lurah ataupun camat begitu tinggi, sehingga mereka segan dan takut untuk bertemu kedua “mahluk” tersebut.
Akhirnya, relawan itu menyemangati mereka. “Jangan takut menghadapi mereka. Bupati, camat, lurah, semua itu sebenarnya bukan jabatan, Mas, tapi pekerjaan. Sama seperti pelamar pekerjaan. Mereka juga harus melamar dan mengeluarkan uang. Setelah mereka menjadi bupati, camat, atau lurah pun mereka mendapat gaji setiap bulan. Jadi, mulai sekarang kamu harus berani menghadapi mereka. Kalau memang ada kepentingan, datang saja ke mereka. Nggak usah takut.
“Menurut saya, yang namanya jabatan itu, hanya diemban oleh orang yang benar-benar ikhlas menerima amanah tersebut dari masyarakat. Mereka bekerja tanpa pamrih dan tidak mendapatkan gaji. Nah, seperti relawan masyarakat di P2KP. Itu baru namanya jabatan,” tandas Pak Relawan.
Ah, sekarang aku yang jadi bingung. Memangnya apa sih, Pak, beda jabatan dengan pekerjaan? (edit: nina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar