12 Mei 2009

KEMISKINAN DI KAMPUNG WARIA

Suka Duka Kampung Waria

Puluhan rumah kumuh berdiri di pantai itu. “Dihiasi” sampah berserakan. Begitu kotor. Di tempat itu, terekam cerita kehidupan anak manusia—bukan lelaki, bukan pula wanita—yang dicap masyarakat sebagai banci (banyak dicaci) atau bencong.

Setiap malam di pantai tersebut, si bencong mencari “mangsa”. Berdandan seksi ala wanita. Rok mini di atas lutut, wajah dibaluri make-up tebal serupa badut. Tak lupa, olesan gincu merah menantang menghiasi mulutnya. Di kegelapan malam, dalam remang cahaya bulan, si bencong menjajakan diri. Mendatangi lelaki, berharap mau diajak berkencan. “Ayo, Mas. Kencan sama aku. Murah kok. Dijamin sip deh! Kita bisa kencan di bibir pantai, lho.” Begitu rayuan si bencong.

Pagi tiba, si bencong pun berubah penampilan. Meski tetap seperti wanita, tapi dia tak lagi sudi memakai rok mini. Malah berpakaian sopan dan rapi. Memakai kerudung dengan tas kecil diletakkan di punggung, mereka mendatangi toko-toko sepanjang jalan, sambil bersenandung. “Aku tak mau, hidupku dicaci maki. Walau ku banci, tapi punya harga diri..” Begitu kira-kira lirik yang dinyanyikannya.

Kehadiran mereka, layaknya penghibur sejati. Apa yang dikerjakannya, selalu menjadi perhatian, baik orang tua, anak muda, bahkan anak kecil sekalipun. Lihat saja, ketika mereka mengamen di kampung-kampung, banyak orang datang berkerumun untuk melihat gaya joget mereka. Megal megol, sambil senyum genit. Karena, hanya itu modal yang dimilikinya. Mereka tak pernah dihargai. Malah selalu menjadi obyek untuk dicaci. Selalu jadi korban diskriminasi. Hingga pada suatu hari, salah satu diantara mereka dihampiri kematian. Dalam ketidakberdayaan, ia menulis sebuah puisi.

Aku adalah banci. Itu kata orang. Semua orang tahu, aku terlahir dari ibu perempuan dan bapak lelaki. Lalu, kenapa orang memanggilku banci? Aku tak ingin terlahir sebagai banci. Karena, banci tak pernah mendapat tempat di masyarakat. Dihina. Dicaci. Dicibir. Ditertawakan. Disepelekan. Direndahkan. Dipermalukan. Diskriminasi selalu terjadi pada kaumku. Padahal kaumku juga pingin hidup layaknya manusia lain.

Ibuku telah renta. Aku harus membantu hidupnya, karena aku bukan banci kaya. Aku dan ibu hidup dalam kemiskinan. Lihatlah rumahku, bukan gedongan. Hanya gubuk yang cukup untuk melindungi aku dan ibu dari panas dan hujan. Aku dan kaumku juga tak ingin hidup terus melacur setiap malam. Atau bersenandung tanpa henti di pagi hari. Tak adakah tempat bekerja yang layak bagi kaumku?

Wahai orang-orang yang merasa paling tinggi, biarkan kaumku hidup dalam ketenangan. Jangan usik kaumku. Jangan ganggu kaumku. Kami juga ingin hidup bahagia dan mulia.

(Pantai Boom, 17-12-2004 : Ditulis kembali untuk mengenang rasa kebersamaan ketika berada di pantai Boom, bersama teman-teman Faskel P2KP di Kota Tuban. (edit: nina)

Tidak ada komentar: