13 September 2008

Blitar, 23 Januari 2006
Melukis Kemiskinan di Dusun Bening

Seorang warga Dusun Bening, Togogan, bercerita padaku. Tentang betapa akrabnya kampung dia dengan kemiskinan. Misalnya saja dari lingkungan dan perumahan. Pada umumnya rumah yang dihuni warga miskin, tidak layak huni.

“Masih banyak rumah yang terbuat dari bambu atau gedek. Lantai rumahnya saja masih tanah. Kasihan mereka, Mas,” kata dia lagi. Jalan perkampungan juga masih berupa tanah dan pasir saja, belum diaspal. “Sekitar 10 tahun lalu, jalanan di kampung ini pernah diukur oleh petugas. Katanya, setelah diukur, nanti kampung kami akan diaspal. Tapi, ternyata itu hanya janji belaka. Sampai sekarang tidak ada perubahan, tetap jalanan tanah,” ujar dia lagi. Apalagi, penerangan jalan sama sekali tidak memadai, akibat banyaknya lampu yang mati dan tidak diperbaiki.

Dari segi ekonomi, pada umumnya warga dusun hanya bekerja sebagai buruh tani. Puluhan warga berangkat ke sawah mulai pukul 06.00 WIB untuk manjing (bekerja sebagai buruh tani atau petani penggarap) adalah pemandangan sehari-hari di sana. Sekitar pukul 11.30 WIB, mereka pulang ke rumah, istirahat. Lalu kembali ke sawah sekitar pukul 13.00 WIB hingga petang, sekitar pukul 16.30 WIB. Upah mereka bekerja seharian, hanya Rp 15.000.

Namun, tidak setiap hari mereka bekerja. Karena, pekerjaan baru datang bila ada pemilik lahan yang membutuhkan tenaga mereka. Kadang, dalam sebulan, mereka hanya bekerja 10-15 hari saja. Tidak hanya pria, wanita pun bekerja sebagai buruh tani, agar mencukupi kebutuhan rumah mereka.

Pemuda di kampung juga banyak yang menjadi pengangguran. “Ini karena kurang lahan pekerjaan. Apalagi tingkat pendidikan pemuda di kampung ini masih rendah. Hanya lulusan SD. Jarang sekali yang sekolah sampai lulus SMP, apalagi SMA,” tutur warga itu padaku. Maka, pemuda yang bergelar sarjana pun bisa dikatakan tidak ada. Meski warga tadi masih sangsi. “Mungkin anak ketua RT, Pak Darto, ada yang jadi sarjana. Yah, paling hanya satu – dua orang saja yang punya gelar sarjana di kampung ini,” kata warga itu.

Akibat rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki para pemuda itulah menyebabkan mereka hanya mampu bekerja sebagai buruh tani. “Lha wong cari kerja itu susah toh, Mas. Makanya, kalau nggak ada pekerjaan di sawah, ya mereka menganggur di rumah,” kata si warga. Dia tak memungkiri, ada pula sejumlah pemuda yang memilih mencari pekerjaan di luar kampungnya, sebagai tukang atau kuli bangunan.

Tak sedikit pula penduduk dusun yang bekerja ke luar negeri sebagai TKW atau TKI. Mereka berharap akan menghasilkan banyak uang guna mencukupi kebutuhan keluarga di kampung. Namun, biaya menjadi TKI tidak murah. Maka, mereka pun menjuali sapi atau berhutang ke tetangga dan saudaranya. “Saya sendiri rencana mau ke Kalimantan. Untuk itu, saya berencana menjual kambing untuk ongkos berangkat ke Kalimantan,” tutur dia. Berbeda dengan TKI, menjadi TKW tidak perlu mengeluarkan biaya awal. Nantinya agen akan langsung memotong gaji mereka.

Meski begitu, tidak semua warga langsung berhasil di luar negeri. Malah, ada warga yang pulang kampung tanpa membawa hasil. Kalaupun ada yang membawa penghasilan banyak, justru uang itu digunakan untuk membeli alat rumah tangga seperti TV dan motor. Ketika mereka harus kembali ke tempat mereka bekerja (menjadi TKI lagi), biaya tak ada, barang-barang pun dijual kembali. “Ini kan sama saja bohong ya, Mas? Malah miskin lagi mereka,” katanya. (Haris Yuniarsyah, Faskel KMW XVI, Srengat, Blitar, Jawa Timur; nina)

Tidak ada komentar: